Lompat ke isi

Etika Yudaisme

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etika Yudaisme merupakan suatu norma atau aturan yang berlaku pada masyarakat Yahudi dari dahulu hingga saat ini. Etika ini bersumber pada aturan-aturan dalam hidup masyarakat Yahudi atau pandangan hidup masyarakat Yahudi. Dalam artikel ini hendak dibahas bagaimana etika ini menjadi sumber bagi tujuan hidup orang Yahudi, bagaimana orang Yahudi melihat hubungan antara tujuan hidup dan tindakan-tindakan etis serta karakteristik dalam etika Yahudi.

Tujuan hidup Yudaisme

[sunting | sunting sumber]

Tujuan hidup mereka ialah taat kepada Allah dengan dan ketaatan itu berdasarkan pada Torah.

Hubungan tujuan hidup dan perbuatan-perbuatan etis

[sunting | sunting sumber]
“Taurat menuntun orang kepada kesaksamaan, kesaksamaan kepada kerajinan, kerajinan kepada kesucian, kesucian kepada kesalehan, kesalehan kepada kerendahan hati, kerendahan hati kepada ketakutan akan dosa, dan akhirnya ketakutan akan dosa kepada kekudusan”. Ucapan yang terdapat pada tulisan tersebut menunjukkan bahwa itu merupakan jalan orang-orang saleh, di mana jalan orang-orang saleh itu ditunjukkan sebagai sebuah jalan curam menuju suatu tingkat hidup yang semakin tinggi letaknya. Tingkat tertinggi yang dimaksud adalah kekudusan. Kekudusan tersebut hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang bisa menciptakan keselarasan antara nafsu keinginan kepada yang satu dan ketidakinginan pada yang lain.[1]

Selain itu, tujuan hidup pemeluk Yudaisme juga sangat menekankan pada ketaatan[2] kepada Allah. Ketika banyak hal membicarakan tentang eksistensi Allah dengan menggunakan rasio maka mereka semua dinilai telah kehilangan iman yang seharusnya taat pada Allah. Tujuan hidup mereka tersirat dalam perjanjian mereka dengan Allah dan pemilihan Allah terhadap bangsa mereka. Hal ini merupakan tolok ukur di mana mereka harus melakukan sesuatu yang baik di mata Allah dengan mengingat bahwa mereka memiliki perjanjian dan mereka juga telah dipilih oleh Allah.[2]

Atas inisiatif Allah, Israel terikat perjanjian. Allah mengikat perjanjian dengan Nuh (Kej 6:18), Abraham (Kej 12:1-7; 15:4-21; 17: 1-16) dan lain-lain. Perjanjian terpenting adalah perjanjian di Gunung Sinai. Di sana mereka diingatkan bahwa Allah telah memilih mereka dan memberikan hukum-hukum untuk membimbing hidup mereka. Keterikatan antara janji Allah dengan mereka membuat mereka menjadi terikat sebagai umat pilihan Allah. Mereka adalah umat yang dipilih Allah karena Allah mengasihi mereka dan mereka diberikan tanggung-jawab khusus yaitu menjadi “umat yang kudus”. Inilah martabat dan hakikat nilai hidup Israel.

Sumber etika Yudaisme

[sunting | sunting sumber]

Pengajaran Etika menurut Yahudi lebih menekankan soal bagaimana manusia bersikap. Etika Yudaisme mempunyai dua sumber utama yaitu Etika yang bersumber dari Kitab Suci (TANAKH) dan Literatur para Rabi.

Yang paling dikenal adalah kesepuluh Firman Allah, yang terdapat dalam Keluaran 20 dan Ulangan 5:|6-21. Dari kesepuluh perintah ini terdapat enam di antaranya yang merupakan perintah langsung dalam kaitannya dengan sesama yaitu: Hormatilah ayahmu dan ibumu, jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu, dan jangan mengingini milik sesamamu. Sedangkan keempat lainnya adalah menyangkut hubungan dengan Allah. Tetapi semuanya itu haruslah dilihat sebagai kesatuan dan harus dilaksanakan demi menjaga keterikatan mereka dengan perjanjian bersama Allah.

Namun demikian, Yudaisme sebagai agama tradisi tidak hanya memiliki tradisi tertulis yaitu Kitab Suci sebagai sumber ajaran. Sumber lain yakni tulisan-tulisan dari para Rabi yaitu Mishna, Midrasy, Talmud dan Targum. Baik dalam Kitab Suci ataupun literatur Rabini sama-sama menekankan pada moral. Hanya saja Literatur Rabinik melanjutkan penekanannya pada tindakan etis. Untuk itulah para Rabi membuat formulasi terhadap sistem tradisi yang tertuang dalam Mishna dan diperluas menjadi Talmud.

Kumpulan-kumpulan besar tulisan para rabi ini pada dasarnya memberikan perhatian pada satu pokok persoalan yaitu: bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya untuk memenuhi perintah Allah sehingga diri mereka menjadi suci dengan berjalan sesuai dengan jalan Tuhan.[3]

Dalam Kitab Suci Yahudi, di antara kitab-kitab lainnya, Taurat adalah yang paling menonjol, demikian juga dalam etik Yahudi, Taurat tetap menempati urutan pertama. Telah disebutkan di atas bahwa selain Taurat, etika Yahudi juga mengenal Mishna yaitu ikhtisar penjelasan Rabini tentang Taurat. Mishna terdiri dari enam kitab yang di dalamnya membicarakan tentang hukum pertanian, hari-hari raya dan hari puasa, hukum perkawinan, hukum sipil dan hukum pidana, undang-undang korban persembahan dan hukum undang-undang kesucian. Mishna kemudian ditafsirkan menjadi lebih luas menjadi Talmud. Talmud berarti pengajaran. Talmud masih diperluas lagi dengan Midrash yaitu sebuah sistem penafsiran dan penjelasan dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran itu agar dapat diterapkan dalam pola kehidupan yang sudah banyak berubah. Midrash sendiri ada dua bentuk yaitu Midrash Halakha dan Midrash Aggada.[4]

Bagian mengenai hukum (Halakhah) dalam Talmud lebih panjang. Melalui Halakhah, manusia dituntun kepada jalan yang seharusnya ditempuh (Halakhah berasal dari Halakh yang artinya pergi, berjalan). Halakha menjadi jawaban atas pertanyaan: Apa yang dikehendaki Allah dari saya? Untuk bisa melakukan apa yang dikehendaki Allah manusia harus menempuh Halakha, jalan yang harus ditempuh.[5] Halakha sebagai perluasan dari Taurat melahirkan 613 aturan hukum. Dari 613 aturan ini, 148 adalah bentuk perintah atau suruhan: Haruslah…… dan 365 larangan: Janganlah……

Arti Halakha bagi orang Yahudi luar biasa penting karena bagi mereka Halakha menjadi dasar untuk berdiri. Semua hukum dan perintah Taurat disadur dan dibahas dalam Halakha. Halakha melindungi agama Yahudi dan membantu menerapkan Taurat secara praktis dalam kehidupan yang selalu berkembang dan berubah. Halakha sangat membantu dalam memahami perintah-perintah Taurat lebih spesifik. Meskipun Halakha adalah perluasan Taurat namun aturan-aturan ini haruslah ditaati sebagaimana menaati Hukum Taurat itu sendiri.

Karakteristik etika Yudaisme

[sunting | sunting sumber]

Berdasarkan penjabaran tentang pandangan Yudaisme akan tujuan hidup, hubungannya dengan perbuatan-perbuatan etis dan sumber etika Yahudi, dapat dikatakan bahwa etika Yudaisme adalah etika yang didasarkan pada pertimbangan etis di setiap area kehidupan di mana manusia harus terus berusaha sebaik mungkin menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak Allah. Mereka (Bangsa Yahudi) menyadari bahwa hidup ini adalah anugerah dan bahwa mereka adalah umat pilihan Allah sehingga semua tindakan yang mereka lakukan terutama dalam hubungan dengan sesama itu benar di hadapan Allah.

Di dalam etika Yahudi ada belarasa yang kuat berkenaan dengan moralitas yang berhubungan dengan persoalan kemanusiaan. Etika Yahudi menghargai keunikan individu dengan menghilangkan diskriminasi. Keyakinan ini bersumber dari Kitab Suci yang menuliskan manusia setara menurut gambar dan rupa Allah (imitatio dei).[6] Pandangan ini sangat penting dan menjadi dasar refleksi etis. Dengan keyakinan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah berarti di dalam diri setiap orang terdapat elemen Ilahi, bagian dari Allah. Sebab itu, manusia harus memperlakukan sesamanya manusia dengan baik bukan hanya karena manusia diciptakan serupa dengan Ilahi tetapi juga karena Allah adalah bagian masing-masing manusia. Dengan kata lain, bagaimana kita berelasi dengan orang lain sama dengan kita sedang berelasi dengan Allah.[7] Moralitas Yahudi menekankan pada motivasi kemanusiaan. Iman Yahudi tidak semata-mata berurusan dengan aksi dan akibatnya tetapi juga menuntut tujuan atau maksud yang benar. Harus diingat bahwa yang penting dalam Yudaisme adalah apa yang manusia lakukan, bukan apa yang manusia percayai.

Kesimpulan

[sunting | sunting sumber]

Menurut Etika Yudaisme, perbuatan-perbuatan etis yang dilakukan haruslah sesuai dengan apa yang menjadi tujuan hidup karena erat hubungan antara keduanya. Konsep hidup bagi Yudaisme berlandaskan pada keyakinan sebagai umat yang terpilih (chosen people) dari antara bangsa-bangsa lain. Sebagai umat pilihan, tentu saja mereka harus menjalani hidup yang berbeda dengan umat lainnya. Perjanjian Allah dan umat-Nya menegaskan kedaulatan Allah terhadap bangsa Israel sebagai umat kepunyaan-Nya. Penegasan ini menentukan jati diri Israel dan tujuan keberadaan hidup mereka di dunia. Berdasarkan perjanjian, umat Israel harus hidup sebagai umat Allah dan sesuai dengan panggilan itu. Agar mereka dapat hidup sesuai dengan tujuan ini, maka sebagai bagian hubungan perjanjian tersebut ditetapkanlah kewajiban-kewajiban yang horizontal dan vertikal yaitu Hukum Taurat.

Untuk mencapai tujuan hidupnya, mereka mempunyai banyak ajaran-ajaran yang bersumber dari Kitab Suci (Taurat,Ketuvim,Nevi'im) ataupun literatur Rabbini (Penafsiran dan perluasan Taurat). Ajaran-ajaran ini digunakan sebagai pedoman hidup bagi mereka sehingga harus nyata dalam perbuatan-perbuatan etis. Dengan demikian mereka dapat hidup sebagai Umat Allah yang benar sesuai dengan apa yang diinginkan Allah.

  1. ^ Jongeneel, Hukum Kemerdekaan:Buku Pegangan Etik Kristen (Jakarta:BPK Gunung Mulia), 67-68
  2. ^ a b Wyschorod Michael, The Body of Faith, (New York: Harper & Row), 174
  3. ^ Jacob Neusner, et.al. (eds), The Encyclopedia of Judaism Vol. I: A-I (New York: The Continuum Publishing Company, 1999), 252-253.
  4. ^ R.C Musaph Andriesse, Sastra para Rabi setelah Taurat, (Jakarta:BPK GM,1991), 60-61
  5. ^ Hans Ucko, Akar Bersama: belajar tentang iman Kristen dari dialog Kristen-Yahudi ; diterj.Martin L.Sinaga (Jakarta:BPK GM,1995), 20.
  6. ^ Dan Chon-Sherbok, Judaism:History,Belief and Practice (New York:Rouledge,2003), 566.
  7. ^ Byron L. Sherwin, Jewish Ethics for the twenty First Century: Living in The Image of God, (New York: Syracuse University Press, 2000), 10.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  • Abrahams, Israel, ed. 2006. Hebrew Ethical Wills. Philadelphia: Jewish Publication Society. ISBN 0-8276-0827-6.
  • Bleich, J. D. 1977. Contemporary Halakhic Problems. 4 vols. New York: Ktav Publishing House Inc. Yeshiva University Press.
  • Breslauer, S. Daniel, comp. 1985. Contemporary Jewish Ethics: A Bibliographical Survey. Westport, CT: Greenwood Press.
  • Breslauer, S. Daniel, comp. 1986. Modern Jewish Morality: A Bibliographical Survey. New York: Greenwood Press.
  • Dorff, Elliot N., and Louis E. Newman, eds. 1995. Contemporary Jewish Ethics and Morality: A Reader. Oxford University Press.
  • Dosick, Wayne. The Business Bible: 10 New Commandments for Bringing Spirituality & ethical values into the workplace. Jewish Lights Publishing.
  • Newman, Louis E. 1998. Past Imperatives: Studies in the History and Theory of Jewish Ethics. Albany: State University of New York Press.
  • Tamari, Meir. 1995. The Challenge of Wealth: A Jewish Perspective on Earning and Spending Money. Jason Aronson.
  • Telushkin, Joseph. 2000. The Book of Jewish Values. Bell Tower.
  • Werblowsky. 1964. In Annual of Jewish Studies 1: 95-139.

Bioethics

[sunting | sunting sumber]
  • Bleich, J. David. 1981. Judaism and Healing'. New York: Ktav.
  • Conservative Judaism. 2002. Vol. 54(3). Contains a set of six articles on bioethics.
  • Elliot Dorff. 1998. Matters of Life and Death: A Jewish Approach to Modern Medical Ethics. Philadelphia: Jewish Publication Society.
  • David Feldman. 1974. Marital Relations, Birth Control, and Abortion in Jewish Law. New York: Schocken Books.
  • Freedman, B. 1999. Duty and Healing: Foundations of a Jewish Bioethic. New York: Routledge.
  • Jakobovits, Immanuel. 1959. Jewish Medical Ethics. New York: Bloch Publishing.
  • Mackler, Aaron L., ed. 2000. Life & Death Responsibilities in Jewish Biomedical Ethics. JTS.
  • Maibaum, M. 1986. "A 'progressive' Jewish medical ethics: notes for an agenda." Journal of Reform Judaism 33(3): 27-33.
  • Rosner, Fred. 1986. Modern Medicine and Jewish Ethics. New York: Yeshiva University Press.
  • Byron Sherwin. 2004. Golems among us: How a Jewish legend can help us navigate the biotech century
  • Sinclair, Daniel. 1989. Tradition and the biological revolution: The application of Jewish law to the treatment of the critically ill
  • _________. Jewish biomedical law. Oxford
  • Zohar, Noam J. 1997. Alternatives in Jewish Bioethics. Albany: State University of New York Press.
  • Zoloth Laurie. 1999. Health care and the ethics of encounter: A Jewish discussion of social justice. Univ. of North Carolina Press.

Lihat Pula

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]

Templat:Halakha